Kamis, 10 April 2008

Penegakan Hukum di Indonesia

Pengertian penegakan hukum

Penegakan hukum ialah pelaksanaan hak, kewajiban serta tanggung jawab hubungan antara penguasa dan warga negara sebagaimana yang telah dituangkan di dalam aturan hukum, baik itu di dalam aturan hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan (statutory law) maupun di dalam aturan hukum yang tidak tertulis (non-statutory law). [1]

Ilustrasi singkat penegakan hukum secara konkrit di masyarakat indonesia

Pelaksanaan penegakan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful). Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.

Rumusan masalah

Setelah melihat fenomena penegakan hukum seperti yang telah dijelaskan diatas, maka timbulah pertanyaan sebagai berikut :

  • Bagaimana formulasi hukum (penegakan hukum in-abstracto) di Indonesia?
  • Bagaimana implementasi hukum (penegakan hukum in-concreto) di indonesia?

Pembahasan masalah

Formulasi hukum (penegakan hukum in-abstracto)

Formulasi hukum adalah suatu proses dimana hukum itu dibentuk atau dibuat. Pengaruh politik terhadap formulasi hukum sangat besar, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan.[2] Bahkan pengaruh politik terhadap hukum bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif (yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum itu sendiri.[3]

Dengan kata lain peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa daripada kepentingan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari contoh produk hukum yang ada, misalnya UU no 7 tahun 2004 tentang sumber daya air yang secara tidak langsung membuka pintu bagi munculnya privatisasi air bahkan komersialisasi air, dan UU tersebut sudah jelas bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”

Implementasi hukum (penegakan hukum in-concreto)

Sebelum membahas lebih jauh tentang implementasi hukum atau bisa disebut dengan penerapan hukum, kami akan membahas terlebih dahulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Prof. Soerjono Soekanto:

  • Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri

Dalam hal ini, kaedah hukum hanya dibatasi pada peraturan-peraturan tertulis yang merupakan perundang-undangan yang resmi.

  • Petugas atau penegak hukum

Petugas penegak hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena menyangkut petugas-petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Yang jelas adalah, bahwa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, petugas seyogyanya harus sesuai dengan pedoman yang berupa peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.

  • Fasilitas

Secara sederhana fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.

  • Masyarakat

Yang dimaksud dengan masyarakat disini adalah derajad kepatuhan masyarakat terhadap hukum, yang meruapakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

Faktor-faktor yang disebut diatas dapat mempunyai pengaruh yang menentukan, sehingga hal ini juga perlu dipertimbangkan di dalam menilai berfungsinya hukum dalam masyarakat.[4]

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Lawrence Friedman:

  • Struktur Hukum

Struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas pertama, bentuk hukum yaitu bentuk dari hukum itu sendiri misalnya hukum pidana, hukum perdata dll. Kedua, lembaga-lembaga hukum yaitu institusi-institusi yang berkompeten dalam proses penegakan hukum. Misalnya lembaga kehakiman, kejaksaan, kepolisian dll. Ketiga perangkat hukum yaitu, aparat-aparat penegak hukum, misalnya hakim, jaksa, polisi, advokat dll.

  • Substansi Hukum

Substandi hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.

  • Budaya Hukum

Budaya hukum ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.[5]

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, masih ada satu faktor yang sangat berpengaruh didalam penegakan hukum in-concreto, yaitu type hukum yang diterapkan, karena selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku, terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.

Menurut Nonet dan Selznick, ada tiga type hukum di dalam masyarakat yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).[6]

Hukum represif merupakan perintah dari yang berdaulat, yang pada prinsipnya hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.Pemberlakuan hukum represif tidak terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi yang sangat dekat ini adalah adanya suatu subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elit-elit yang berkuasa. Hukum adalah alat yang mudah diutak-atik, siap dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan memenangkan ketaatan.

Hukum otonom dapat disebut sebagai pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law). Hukum otonom memfokuskan diri pada peraturan dan hal ini menyebabkan hukum otonom cenderung mempersempit cakupan fakta-fakta yang relevan secara hukum, sehingga memisahkan pemikiran hukum dari realitas sosial. Hasilnya adalah legalisme, yaitu sebuah kecenderungan untuk menyandarkan diri pada otoritas hukum dengan mengorbankan pemecahan masalah di tingkat praktek.

Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan (kedaulatan Tujuan). Prof. Satjipto Rahardjo mengembangkan hukum responsif menjadi hukum progresif.

Hukum progresif

Berikut ini ialah gambaran secara singkat mengenai hukum progresif, hukum progresif ialah hukum yang tidak hanya berpatokan pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakkan interpretasi secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.

Diskresi

Hukum progresif, seperti sudah dikatakan, lebih mengutamakan tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada mereka berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral daripada ketentuan-ketentuan formal. Diskresi merupakan salah satu cara untuk mengatasi “kelumpuhan” hukum di Indonesia, terutama mengatasi ketidakmampuan melayani kepentingan rakyat kecil. Karena itu, praktik hukum progresif, lebih mengandalkan kebijaksanaan pada pelaku hukum, yaitu hakim, polisi, jaksa, dan pengacara dalam memaknai hukum kini dan di sini. Hakim, polisi, jaksa, dan pengacara yang progresiflah yang sebenarnya menjadi ujung tombak perjuangan hukum progresif, Untuk mewujudkan hukum progresif, mereka harus bertindak sebagai a creative lawyer. Dari merekalah diharapkan lahir keputusan yang berkualitas “yurisprudensial” untuk memandu perubahan hukum secara secara progresif. Tanpa panduan itu, hukum progresif akan sulit terwujud. Di tengah kebanyakan orang (termasuk aparat penegak hukum) dikuasai sikap pragmatis-naif, bisa saja “kebebasan” yang diberikan hukum prograsif itu disalahgunakan untuk menabrak hukum itu sendiri demi sebuah kemungkaran.[7]

Kesimpulan

Dari semua paparan diatas, penegakan hukum hukum di indonesia lebih efektif apabila menggunakan type hukum progresif, karena di dalam realitasnya, seringkali terdapat keadaan dimana pertimbangan-pertimbangan benar dan salah berdasarkan aturan hukum tidak selalu menolong, beitu kompleksnya kenyataan yang ada di aalam masyarakat membuat sulitnya memperoleh suatu putusan yang adilhanya dengan mengandalkan pertimbangan legalistik semata, hal ini kian terasa karena banyak peraturan yang ada sekarang ini sudah tidak relevan dan tidak aspiratif terhadap kepentingan rakyat. Belum lagi adanya peraturan yang saling kontradiktif dan tumpang tindih di sana-sini. Karena itu, kehadiran pelaku hukum yang arif dan kreatif mutlak perlu untuk “memandu” penafsiran yang kreatif terhadapa aturan-aturan yang demikian itu. Seorang pelaku hukum progresif, berusaha mencari dan menemukan keadilan dalam batas dan ditengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada. Itu pula sebabnya, kecerdikan dan kearifan pelaku hukum menyelami roh sebuah peraturan, serta kemampuan menentukan secara tepat keutamaan suatu kepentingan/kebutuhan sosial yang harus dilayani oleh hukum, merupakan kekuatan kunci dari hukum progresif.


[1] Natangsa Surbakti, Filsafat Hukum, hal. 191.

[2] Moh. Mahmud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, hal.8.

[3] Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, hal. 79.

[4] Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1982. hal 14-19.

[5] Dikutip dari website Universitas indonesia dengan judul: Reformasi Hukum di Indonesia: Sebuah Perjalanan Panjang dan Berliku. Oleh Dodik Setyo Wijayanto (Mahasiswa FHUI angkatan 2001).

[6]Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi. Penerbit : Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta Judul Asli: Law & Society in Transition: Toward Responsive Law, Pengarang: Philippe Nonet & Philip Selznick, Penerjemah: Rafael Edy Bosco, Pengantar:Prof. Satjipto Rahardjo. Dikutip dari website BAPELDA provinsi DIY.

[7] Konfigurasi Hukum Progresif -- Sudijono Sastroadmodjo